Materi Pendidikan Agama
RUANG LINGKUP AGAMA
1. MANUSIA DAN AGAMA
Manusia dan Agama adalah ikatan
kehidupan yang penting untuk mengarungi kehidupan,dan dibagi diantaranya:
a. Manusia dan alam semesta
b. Manusia menurut Agama Islam
c. Agama arti dan ruang
lingkupnya
d. Hubungan manusia dan agama
2. AGAMA DAN AGAMA ISLAM
Agama adalah keyakinan suatu
makhluk kepada Sang Penciptanya,dibagi diantaranya:
a. Arti dan ruang lingkup agama
islam
b. Klasifikasi dalam agama islam
c. Agama Islam dan IPTEK
Sosialnya makhluk dengan binatang
ada banyak persamaan,diantaranya yang membedakan yaitu:
a. Mengembangkannaluri
b. Etika
c. Peradaban
Agama itu suatu keyakinan manusia
mencapai hidup yang benar menurut Zat Yang Maha Tinggi.
Unsur pokok dari agama itu yaitu:
a. Sistem oredo (keyakinin)
b. Sistem ritus (Peribadatan)
c. Sistem norma (tatakaidah)
Faktor dari agama itu adalah:
- adanya keyakinan
- adanya syariat (ibadah)
- adanya rosul (utusan)
- adanya kitab suci
Ada 3 Pilar dalam Islam yaitu:
a. Akidah adalah ilmu tentang tauhid Keesaan
Tuhan Yang Maha Esa.
b. Syariat adalah nilai dalam peribadatan.
c. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa dan sehingga menimbulkan perbuatan.
Keyakinan/nilai keimanan harus
all out atau kaffah “menyeluruh” ibarat akidah itu akar,syariat tangkai dan
daun dan sedangkan akhlak sendiri buah perbuatan tersebut.
Dalam 3 pilar islam haru
diwujudkan dengan proses pelaksanaan dari akidah dan syariat lalu menghasilkan
akhlakul kharimah.
Unsur kebahagiaan bukanlah
dinilai dengan materi tetapi hidup yang mempunyai tujuan bahagiah didunia dan
akhirat.
Pertanyaan:
Bagaimana caranya kalo kita
banyak pekerjaan yang padat setiap hari biar tetap semangat..??? jawab..
lakukanlah dengan ikhlas semangat dan
nikmatilah segala sesuatunya dengan cinta.
KLASIFIKASI AGAMA
Yaitu meliputi:
a. Agama wahyu
b. Agama budaya
AGAMA ISLAM DAN IPTEK
Agama islam adalah wahyu dari
Allah yang lewat malaikatnya kepada rosul.
Ilmu pengetahuan adalah pikiran
manusia yang hasil dari penyelidikkan dan analisis.
Sedangkan teknologi adalah suatu alat
kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan kepada Allah.
SUMBER AGAMA ISLAM
Terdiri dari:
a. Al Qur’an
b. Al Hadist
c. Ijtihad
Janganlah jadi mahasiswa yang
instan dan bermalas malasan dan siap untuk bersaing!
Pembahasan: AQIDAH
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi)
berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ)
yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ)
yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ)
yang berarti mengikat dengan kuat.
[1] Sedangkan menurut istilah
(terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada
keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah
keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah ازوجلّ dengan segala pelaksanaan ke-wajiban,
bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya,
Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’
(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti),
baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
"Dan barangsiapa yang
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"
(QS. An-Nisa':69
Pembagian Aqidah
Walaupun masalah qadha' dan qadar
menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah
membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka
itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut
mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka
masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut
pembagian ulama:
Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah
mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya
semata.
Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah,
ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa
hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Ketiga: Tauhid Al-Asma'
was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya mengimani
bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. dalam
dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk
tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah
kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat
dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah
yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia,
tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita
tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk
makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar
Tauhid itu ada tiga macam,
seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun
Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang
dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal
ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki
dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah
masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata.
Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas]
Perkembangan Aqidah
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah
bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan
tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan
oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya
berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok
Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat
utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula
kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari
Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini
dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1
hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya
mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin
(pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad),
Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi
sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau
salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad
pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW.
Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan
ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul
sunnah dan salaf.
Bahaya Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan pada aqidah yang
dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja
di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di
akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan
keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu
disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :
1. Tidak menguasainya pemahaman
aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya
berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
2. Fanatik kepada peninggalan
adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman
Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa
oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan
kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk."
3. Taklid buta kepada perkataan
tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan
argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia
ikut tersesat.
4. Berlebihan (ekstrim) dalam
mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia,
sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti
perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter
antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta,
bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah.
Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka
mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa',
Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5. Lengah dan acuh tak acuh dalam
mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang
materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta
hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan
kebudayaan mereka.
6. Pendidikan di dalam rumah
tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak
mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang
artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua
orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya"
(HR: Bukhari).
Apabila anak terlepas dari
bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi
yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
7. Peranan pendidikan resmi tidak
memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa
yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan
informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik
banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk
menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut
diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang
shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik
demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah
An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97
yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki
maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Akidah Islam adalah prinsip utama
dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap individu muslim sehingga
memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid dan melahirkan
konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam mengenai
berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam
dirinya. Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu
menciptakan mu’jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman
permulaan Islam.
Demi membina setiap individu
muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih akidah
yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan
validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.
Kita bisa menyimpulkan peranan
penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan dimensi kehidupan
dalam poin-poin berikut :
1. Dalam Sisi Pemikiran.
Akidah menganggap manusia sebagai
makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang terkadang menimpa manusia, adalah
satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, akidah
meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak membuatnya putus
asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya
Akidah telah berhasil
memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim dan
membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.
Akidah juga memberikan kebebasan
penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu dengan hukum-hukum syariat,
penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan kekacauan.
Begitu juga, akidah telah
berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsu, menyembah fenomena-fenomena
alam di sekitarnya dan dongengan-dongengan yang tidak benar.
Melalui proses pembebasn
pemikiran ini, akidah melakukan proses pembinaan manusia. Ia memberikan
kedudukan yang layak kepada akal, mengakui peranannya dan membuka cakrawala
pemikiran yang luas baginya. Di samping itu, akidah juga membuka jendela
keghaiban baginya, membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang sempit
dan mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan tanda-tanda
kekuasaan Allah di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta menjadikan
renungan (tafakkur) ini sebagai ibadah yang paling utama.
Tidak sampai di situ saja, akidah
juga mengarahkan daya akal untuk menyingkap rahasia-rahasia sejarah yang pernah
terjadi pada umat dan bangsa-bangsa terdahulu, dan merenungkan hikmah yang
tersembunyi di balik syariat guna mengokohkan keyakinan muslim terhadap syariat
dan validitasnya untuk setiap masa dan tempat.
Dari sisi lain, akidah mendorong
manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengikat ilmu pengetahuan itu
dengan iman. Karena memisahkan ilmu pengetahuan dari iman akan menimbulkan
akibat jelek.
Akidah juga memerintahkan akal
untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk menyimpulkan sebuah
Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal itu.
2. Dalam Sisi Sosial.
Akidah telah berhasil melakukan
perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat Jahiliah hanya mementingkan
diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal akidah, mereka relah
mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial.
Akidah telah berhasil
menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan manusia akan
kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan umum
dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.
Akidah telah berhasil menumbuhkan
rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan cara-cara berikut:
menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain,
menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap
individu muslim untuk hidup bersama.
Dari sisi lain, akidah telah
berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial antar anggota masyarakat, dari
tolok ukur hubungan sosial yang berlandaskan fanatisme, suku, warna kulit,
harta dan jenis kelamin menjadi hubungan yang berlandaskan asas-asas spiritual.
Yaitu takwa, fadhilah dan persaudaraan antar manusia. Akidah telah berhasil
merubah kondisi pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda masyarakat
insani menjadi kondisi salang mengenal dan tolong menolong. Dengan ini, mereka
menjadi sebuah umat bersatu yang disegani oleh bangsa lain. Di samping itu,
akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-tradisi Jahiliah yang menodai
kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.
3. Dalam Sisi Kejiwaan.
Akidah dapat mewujudkan
ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana sedang menimpa.
Dalam hal ini akidah telah
menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan bencana-bencana itu di
mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah menjelaskan kriteria
dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana
dan derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi
manusia untuk mencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.
Atas dasar ini, hendaknya ia
berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian Allah di dunia.
Dan di antara cara-cara tersebut
adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti membuahkan pahala, dan
menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah musibah yang menimpa
agama.
Dari sisi lain, akidah juga
membebaskan jiwa manusia dari segala ketakutan yang dapat melumpuhkan
aktifitas, membinasakan kemampuan dan menjadikannya cemas dan bingung.
Begitu juga akidah memotivasi
manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa tanpa itu, sulit baginya untuk
dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal
Allah secara sempurna.
Dari pembahasan-pembahasan di
atas, dapat kita simpulkan bahwa penyakit-penyakit jiwa yang berbahaya seperti
fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-akibat
sosial dan politik yang berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin
di Saqifah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali a.s.
4. Dalam Sisi Akhlak.
Akidah memiliki peranan yang
besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai dengan prinsip-prinsip
agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar
wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran
pemikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh
Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan
demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan manusia. Karena
akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari
Pembahasan: SYARIAH
Syariah adalah ketentuan-ketentuan
agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan
kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Syariah Islam adalah tata cara
pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah SWT
yang dirumuskan dalam Al-Qur’an, yaitu :
1. Surat Asy-Syura ayat 13
Artinya : Dia telah mensyariatkan
bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (Quran
surat Asy-Syura ayat 13).
2. Surat Asy-Syura ayat 21
Artinya : Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah
tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
akan memperoleh azab yang pedih. (Qur’an Surat Asy-Syura Ayat : 21).
3. Surat Al-Jatsiyah ayat 18
Artinya : Kemudian kami jadikan
kamu berada di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat : 18).
A. Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
Ketentuan-ketentuan sebagaimana
dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan
Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang
bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam
satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau
dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan
fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten.
Sebagai contoh, seseorang
menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Dalam syariah
Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak dapat
melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya dengan cara
lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti sholat sambil
duduk.
B. Ruang Lingkup Syariah
Ruang lingkup syariah lain
mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah, yaitu
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual),
yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan
syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang
berhubungan dengan rumun Islam.
1. Badani (bersifat fisik) :
bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis,
peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih,
istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
2. Mali (bersifat harta) :
qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah, yaitu peraturan yang
mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta
(jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam,
sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang,
utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan
lain-lain.
3. Munakahat, yaitu peraturan
yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga
(nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian,
pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas
kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam
walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4. Jinayat, yaitu peraturan yang
menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah,
minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut
masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan)
musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu
(toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan)
pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur
sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati),
pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain
(berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya
seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan,
pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.
C. Sumber-Sumber Syariah
1. Al-Qur’an, kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian
besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber
hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum
Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para
ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum
ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D. Klasifikasi Syariah
Syariah dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Wajib (Ijab), yaitu suatu
ketentuan yang menurut pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan
apabila ditinggalkan mendapat dosa.
2. Haram, yaitu suatu ketentuan
apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa.
Contohnya : zinah, mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang
tua, dan lain-lain.
3. Sunnah (Mustahab), yaitu suatu
ketentuan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
berdosa.
4. Makruh (Karahah), yaitu suatu
ketentuan yang menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila
ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya :
merokok, makan bau-bauan, dan lain-lain.
E. Ibadah Sebagai Bagian Dari
Syariah
Syariah mengatur hidup manusia
sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan,
ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan
ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi
ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan
kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan
demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti
mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan
ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas
hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
Adz-Dzariyah ayat 56 yang berbunyi :
Artinya : “Dan aki tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat
: 56).
Secara khusus Ibadah berarti
perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.
Landasan dasar pelaksanaan
syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat maka syariah dapat
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Pembahasan: AKHLAK
Akhlak (Ar.: al-akhlak, jamak
dari al-khulq = kebiasaan, perangai, tabiat, dan agama). Tingkah laku yang
lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat, dan telah menjadi
kebiasaan. Kata akhlak dalam pengertian ini disebut dalam Al-Quran dengan
bentuk tunggalnya, khulq, pada firman Allah SWT yang merupakan konsiderans
pengangkatan Muhammad sebagai Rasul Allah [1]. Dijelaskan dalam Al-Quran
sebagai berikut :
والك
لعلر حلق عطلم(المملع.
٦٨:٤)
Atrinya
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pengerti yang agung (QS
Al-Qalam, 68 :4) [2]”
Beberapa istilah yang bekaitan
dengan akhlak. Menurut jamil salibah (ahli bahasa arab kontemporer asal
suriah), adalah akhlak yang baik dan ada yang buruk. Akhlak yang baik disebut
adab (adab). Kata adab juga digunakan dalam arti etika yaitu tata cara sopan
santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.
Ulamah akhlak brbeda pendapat
tentang apa kah akhlak yang lahir dari manusia merupakan hal pendidikan dan
latihan ataukah pembawah sejak lahir. Sebagian mengatakan bahwa akhlak merupakan
pembawah sejak lahir orang yang bertingkah laku baik atau buruk karena
pembawanya sejak lahir. Karenanya, akhlak tidak bisa diubah melalui pendidikan
atau latihan. Pandangan ini dipegang oleh kaum jabariah, salah satu aliran
dalam teologi islam. Sebagian lain berpendapat bahwa akhlak merupakan hasil
pendidikan. Karenanya, akhlak bisa diubah melalui pendidikan, dan itulah
sebabnya mengapa Rasulullah SAW “diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.
Malik). Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulamah. Ibnu maskawaih, ketika
mengeritik pandangan pertama, mengatakan bahwa pandangan negatif tersebut
antara lain akan memebuat segalah bentuk normal dan bimbingan jadi tertolak,
orang jadi tunduk pada kekejaman dan kelaliman, serta nak-anak jadi liar karena
tubuh dan perkembangan tanpa nasihat dan pendidikan.
Menurut Quraish Shihab, meskipun
kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, ada issyarat dalam Al-Quran
bahwa manusia pada dasarnya cendrung pada kebajikan. Didalam Al-Qurandiuraikan
bahwa iblis menggoda Adam, lalu adam durhaka kepada Tuhan. Sebelum digoda
iblis, Adam tidak durhaka artinya ia tidak melakukan sesuatu yang buruk akibat
godaan itu, adam menjadi sesat, tetapi kemudian bertobat kepada tuhan sehingga
kembali kepada kesuciannya.
Ukuran Baik dan Bururk. Ulama
berbeda pendapat tentang ukuran baik dan buruk akhlak. Mereka terbagi menjadi
tiga golongan
Golongan pertama, Muktazilah
(aliran teologi islam rasional dan liberal pada abad ke-8, didirikan oleh wasil
bin ata [80 H/699 M-131 H/748 M]), berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk
akhlak adalah esensinya. Untuk ini mereka membagi akhlak yang menuntut
esensinya adalah buruk dan Allah SWT pasti melarangnya, seperti besikap jujur
dan adil. Ada akhlak yang menurut esensinya bisa baik dan buruk, seperti membunuh.
Golongan kedua. Maturidiah
(aliran yang didirikan oleh abu Abu Mansur Muhammad al-maturidi [w. 333H/944
M]) dan mashab *Hanafi, sependapatdengan golongan Muktazilah. Hanya saja
mereka, berbeda pendapat tentang tanggung jawab terhadap akhlak tersebut.
Menurut mereka, akal tidak dapat menetapkan kewajiban, yang menetapkan
kewajiban adalah syarak. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban hanya atas
dasar kesadaran etisnya yang diperoleh melalui syarak.
Golonga ketiga, Asy’ariyah
(aliran yang didirikan oleh Abu Hasan Ali bin Ismailal-Asy-ari [260H/873 M-324
H/935 M]) dan jumlah ulamah usul fikih, berpendapat bahwa baik dan buruk akhlak
ditentukan olej syarak. Apa yang diperintahkan adalah baik dan yang dilarangnya
adalah baik dan apa yang dilrangnnya adalah buru. Manusia akan dimintai
pertanggung jawaban diperoleh melalui syarak.
Al-Quran meberi kebebasan kepada
manusia untuk memilih bertingkah laku baik atau buruk sesuai dengan
kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia dan diminta pertanggung
jawabannya diakherat atas segalah tingkah lakunya [3]. Allah SWT berfirman.
Artunya :
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa) : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al
Baqarah 2 : 286 [4])
Sumber Akhlak. Akhlak orang
muslim merujuk pada dua sumber utama pada ajaran islam. Sumber pertama
diterangkan oleh *Aisyah binti Abu Bakar ketika ditanya para sahabat tentang
akhlak Rasulullah SAW Aisyah berkata adalah : “Akhlak Rasulullah SAW adalah
Al-Quran”(H.R Ahmad bin Hanban). Adapun sumber kedua adalah keteladanan yang
dicontohkan oelh Rasulullah SAW kepada umatnya, sebagaimana ditegaskan oleh
Allah SWT di dalam firman-Nya.
Artinya : Sesungguhnya Telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. : (Q.S Al-Ahzab. 33 : 21) [5].
Sasaran Ahlak. Dalam Islam,
secara garis besar akhlak manusia mencangkup tiga sasaran, yaitu terhadap Allah
SWT, terhadap bersama manusia, dab terhadap lingkungannya.
Akhlah terhadap Allah SWT.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlak manusia terhadap Allah SWT bertitik
tolak dari pengakuan dan kesadaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang
memiliki segalah sifat terpuji dan sempurna.
a. Mensucikan Allah SWT dan memuji-nya.
b. Bertaqwa (berserah diri) kepada Allah SWT
setelah berbuat atau berusaha lebih dahulu.
c. Berbaik sangka kepada Allah SWT
Akhlak Terhadap Sesama Manusia
a. Akhlak terhadap Oran Tua diantaranya
sebagai berikut :
1. Memelihara keridaan orang tua
2. Berbakti kepada orang tua
3. Memelihara etika pergaulan kepada orang
tua
b. Akhlak terhadap kaum kerabat. Akhlak yang
paling utama terhadap kaum kerabat ialah mengadakan hubungan silaturahmi dan
berbuat ihsan (baik) terhadap mereka, seperti mencintai mereka serta turut
merasakan suka dan duka mereka. Diatara ayat-ayat yang berbicara tentang akhlak
ini ialah surah an-Nisa (4) ayat 1 dan 36, surah ar-ra’d (13) ayat 25, surah
al-israh (17) ayat 26, dan surah Muhammad (47) ayat 22. Diantara hadist Nabi
SAW yang berbicara tentang akhlak ini ialah “Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhirmaka hendaklah ia mengadakana hubungan silaturrahmi” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
c. Akhlak terhadap tantangan. Diantara
akhlak seseorang terhadap tantangannya ialah sebagai berikut.
1. Tidak menyakiti tetangganya. Baik dengan
perbuatan maupun denga perkataan
2. Berbuat ihsan (kebaikan) kepada tentangga
diataranya ialah melakukan *takziah ketika tetangganya mendapatkan musibah,
melakukan *tahnia ketika tetanggany mendapat kegembiraan, menjenguknya ketika
sakit, menolongnya ketika dimintai tolong.
Ahklah terhadap Lingkungan.
Dimaksudkan dengan lingkungan disini ialah segalah sesuatu yang berada
disekitar manusia, seperti binatang, tumbuhan-tumbuhan dan benda-benda yang tak
bernyawa.
Akhlak yang dianjurkan Al-Quran
terhadap lingkungan bersumber daru fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah
menuntut adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap mahluk mencapai tujuannya.
Mahluk-mahluk itu adalah umat seperti manusia juga. Al-Quran menggambarkan :
“dan tiada binatangbinatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melaikan umat-umat (juga) seperti kamu… ”(Q.S. 6:38).
Oleh sebab itu menurut Al-Qurtubi, makluk-mahluk itu tidak boleh diperlukan
secara aniayah [6].
Allah SWT menciptakan Ala mini
dengan tujuan yang benar, sesuai dengan firman-Nya. (Q.S. Al-Ahqaaf. 46:3) [7].
$tB $oYø)n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚö‘F{$#ur $tBur !$yJßgoYøŠt/ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 9@y_r&ur ‘wK|¡•B 4
tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx.
!$£Jtã
(#râ‘É‹Ré&
tbqàÊÌ÷èãB ÇÌÈ
Artinya :
Kami tiada menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan
dalam waktu yang ditentukan. dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang
diperingatkan kepada mereka.
M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa dalam memanfaatkan alam manusia tidak hanya dituntut untuk tidak bersikap
angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, tetapi juga dituntut untuk
memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah SWT, pemilik ala mini.
Manusia ditutntu tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri atau kelompok
saja tetapi juga kemaslahatan semua pihak. Dengan demikian, manusia
diperintahkan bukan untuk mencari kemenagan, tetapi keselarasan dengan alam.
Kitab Tentang Akhlak. Disamping
petunjuk tentang akhlak dalam bentuk perbuatan seperti dikemukakan diatas,
didalam islam terdapat juga petunjuk untuk memiliki perangai seperti sabar,
ramah, ikhlas, pemaaf, jujur,dan kasih sayan, serta petunjuk untuk menghindari
perangai yang buruk sepertipemarah, pendendam, dan berdusta.
Pembahasan tentang
petunjuk-petunjuk tersebut banyak dimuat dalam kitab tasawuf dan akhlak antara
lain sebagai berikut.
1. Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah (risalah karya
Qusyairi). Karya Abu Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha
bin Muhammad Al-Qusyairi (376 H/986 M-465 H/1074 M). kitab ini membahas antara
lain tingkah laku, prinsif dan sifat sufi, serta kode etika para pelajar.
2. Ihya Ulum Ad-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), karya Imam
al-gazali. Kitab yang terdiri atas 4 jilid ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian
pertama mengupas masalah ibadah dengan segala rahasianya. Bagian kedua membahas
masalah adat dan muamalah. Bagian ketiga menyajikan hal-hal yang dapat merusak
diri, termasuk akhlak-akhlak tercela. Bagian keempat menguraikan hal-hal yang
menyelamatkan manusia dalam berbagai kerusakan, termasuk akhlak terpuji.
3. Al-Azkar (Zikir-zikir), karya imam
an-Nawawi, kitab ini berkumpulan hadist dan doa tentang aktivitas sehari-hari,
latihan rohani, etika umum, dan lain-lain yang mempererat hubungan manusia
dengan Tuhan dan sesamanya.
4. Al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha (Akhlak
Islamdan dasar-dasarnya). Karya Ayekh Abdurrahman Hasan Habnakah al-Maidani
(ahli ilmu akhlak konteporer asal Suriah). Materinya antara lain dasarnya
akhlak yang digalidari Al-Quran dan hadis petunjuk praktis penerapan akhlak,
dan pendidikan akhlak [8].
B. Pendidikan Islam
Pendidikan islamadalah usaha yang
diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran islam atau
suatu upaya dengan ajaran islam memiliki nilai-nilai islam serta bertanggung
jawab sesuai dengan nilai-nilai islam.
Sebagai aktivitas yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan pembinaan keperibadian tentunya pendidikan islam
memerlukan landasan kerja untuk member arah bagi programnya sebab dengan adanya
dasar juga berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang akan diciptakan
sebagai pegangan lengah pelaksanaan dan sebagai jalur langkah menentukan arah
usaha sersebut.
Urutan prioritas pendidikan islam
dalam upayah pembentukan kepribadian muslim, sebagaimana di ilustrasikan
berturut-turut dalam al-quran surat Lugman mulai ayat 3 dan seterusnya adalah
[9].
1. Pendidikan keimanan kepada Allah SWT
Artinya :
Dan (Ingatlah) ketika Luqman
Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Luqman ayat 13) [10].
Pendidikan yang pertama dan utama
untuk dilakukan adalah pembentuka keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat
melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian.
2. Pendidikan Akhlaqul Karimah
Sejalan dengan usaha membentuk
dasar keyakinan atau keimanan maka diperlukan juga usaha membentuk akhlak yang
mulia. Berakhlak yang mulia adalah merupakan modal bagi setiap orang dalam
menghadapi pergaulan antar sesamanya.
Akhlak termasuk diantara makana
yang terpenting dalam hidup ini tingkatnya berada sesudah keimanan atau kepercayaan
kepada Allah, Malaikatnya, Rasul-rasulnya, hari akhir yang terkandang hasyar,
hisab, balasan akhirat dan qada dan qadar Allah. Apabila beriman kepada Allah
dan beribadah kepadanya pertama-tama berkaitan rapat antar hubungan hamba dan
Tuhannya, maka akhlak pertama sekali berkaitan dengan hubungan Muamalah Manusia
dan orang-orang lain, baik secara individu maupun kolektif. Tetapi perlu
diingat bahwa akhlak tidak terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia
dengan manusia yang lainnya, tetapi melebihi itu, juga mengatur hubungan
manusia dengan segalah yang terdapat dalam wujud dan kehidupan ini malah
melampawi itu yaitu mengatur hubungan antar hamba denga Tuhannya [11].
Artinya :
Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (Luqman 18) [12].
Selanjutnya, tentang pendidikan
(Pendidikan Islam) Al-Quran, antra lain berbicara mengenai : karakteristik
sejarah dan medan pendidikan.
1. Karakteristik Pendidikan Islam
Pendidikan islam bukannya hanya
pendidikan akhlak aqiqah dan ibadah saja, melaikan lebih luas, yakni :
a. Pendidikan Islam mencakup seluruh aspek
manusia
b. Pendidikan Islam mencakup kepentingan
hidup dunia dan akhirat.
c. Pendidikan Islam berlangsung
terus-menerus sejak masih dalam kandungan ibu sampai masuk liang lahat, setiap
orang selalu terlebit dalam proses pendidikan baik sebagai terdidik maupun pendidik.
d. Sistem Pendidikan islam menuju
keselarasan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Segi-segi pendidikan islam
diatas pada satu perinsip :
Al-Quran dan pendidikan islam
mempelihara dan memperhatikan Fitnah Manusia, pada islam sengaja direncanakan
oleh Allah intik selaras, relevan dan sesuai dengan fitnah tersebut. Sehingga
dikatakan bahwa fungsi pendidikan menurut Al-Quran adalah : usaha dan upaya
manusiakan manusia. Dan oleh karena itu fitnah manusia itu selalu cendrung
kepada Al-Haq atau Al-Islam, maka pendidikan menurut Al-Quran adalah menuju
terbentuknya pribadi Muslim Paripurna. (Ali Khalil Abu Al-Ainain, 1980 :
147-148)
2. Sasaran Pendidikan Islam
Dari segi salah satu esensi
penting pendidikan yakni pertumbuhan dan perkembangan, maka sasaran pendidikan
merupakan persoalan asasi dan menyangkut masalah ini dan nilai Qurani terdiri
atas dua tingkat :
a. Nilai-nilai Rohaniah, berupa “Imam”
(Tauhid), yakni merupakan motivasi dasar dari seluruh aktivasi manusia,
melahirkan keikhlasan.
b. Nilai-nilai pengabdian (Ubudiyah) terdiri
dari nilai-nilai moral (Akhlak), nilai individu , nilai-nilai social
(Masyarakat)
3. Medan Pendidikan Islam
Menurut ajaran Islam, medan
pendidikan adalah :
a. Pendidikan Jasmani
b. Pendidikan Rasio
c. Pendidikan Aqidah
d. Pendidikan moral (Akhlak)
e. Pendidikan Kreatifitas
f. Pendidikan Seni
g. Pendidikan Sosial
Islam menilai Pendidikan Jasmani
sebagai cukup penting karena jasmani manusia ikut member adil dalam upaya
penuaian, tugas hidup manusia pendidikan rasio, tidak hanya bermaksud agar
manusia maupun berfikir saja, melainkan lebih dari, dengan kemampuan berfikir
manusia akan lebih baik dalam mengenal dan selanjutnya mengabdikan dirinya
kepada khaliqnya arah pendidikan kreatifitas adalah agar manusia mampu
mengajarkan akhlak kepada dirinya sendirinya. Sedangkan pendidikan
(Terbentuknya manusia pengabdi yang Shalih), juga dalam rangka pencapaian
sasaran pendidikan sosial amat penting artinya bagi penuaian tugas ibadah dalam
dimensi sosial [13].
Adapun tujuan pendidikan islam
yang sejalan dengan misi islam itu sendiri yaitu mempertinggi nilai-nilai
akhlak hingga mencapai akhlak Al-Karimah. (Al-karimah1979).
Misi islam itu sendiri yaitu
mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak Al-Karimah.
(Al-Syaibany, 1979)
Dan tujuan tersebut sama dan
sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas kenabian, yang diemban oleh
Rasul Allah SAW. Yang terungkap dalam pernyataan beliau : “sesungguhnya aku
diutus adalah untuk membimbing mausia mencapai akhlak yang mulia” (Al-Hadist)
faktor kemulian akhlak dalam pendidikan islam dinilai sebagai faktor kunci
dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan islam berfungsi
menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera dudunia
dan kehidupan akherat.
Dua sasaran pokok yang akan oleh
pendidikan islam tadi, kebahagian dunia dan kesejahteraan akhir, memuat
sisi-sisi penting. Dan bagian ini dipandang sebagai nilai lebih dari pendidikan
islam disbanding dengan pendidikan non islam. Nilai lebih tersebut terlihat
bahwa pendidikan islam dirancang agar dapat merangkum tujuan hidup manusia sebagai
mahluk ciptaan tuhan yang pada hakikatnya tunduk pada hakikat
penciptaanya.
1. Tujuan Pendidikan islam itu bersifat
fitnah yaitu membimbing perkembangan manusia sejalan dengan fitnah kejadiannya.
2. Tujuan pendidikan islam menentang dua dimensi
yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hidup didunia dan diakhirat.
Prof. Mohammad athiyan Al-Brosyi
dalam kejadiannya tentang pendidikan islam telah menyimpulkan 5 (Lima) tujuan
yang asasi bagian pendidikan islam yang diuraikan dalam “At-Tarbiyah Al-Islamiyah
Wa-Falsafatuha”. Yaitu :
1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang
mulia
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan
diakhirat [14].
Dalam kaitannya dengan evaluasi
pendidikan islam telah menggariskan tolak ukur yang serasi dengan tujuan pendidikan.
Baik tujuan jangka pendek, yaitu membimbing manusia agar hidup selamat didunia
maupun tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan hidup akhirat nanti. Kedua
tujuan tersebut menyatu dalam sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Akhlak yang mulia terlihat dalam penampilan sikap pengabdiannya
kepada Allah SWT dan kepada lingkungannya bauk kepada sesama manusia, maupun
terhadap kepada alam sekitarnya. Oleh karena itu dalam pendidikan islam
evaluasi lebih ditekankan pada penguasa sikap (aspek efektif) ketimbang
pengetahuan (aspek kognitif).
Akhlak yang diharapkan dapat
dibentuk melalui pendidikan islam, nilai-nilai akhlak sebagai bagian yang
seharusnya dijadikan landasan bagian sistem pendidikan islam, hingga dalam
pelaksanaan seseorang muslim maupun menempatkan dirinya sebagai khalifah Allah
dimuka bumi dan untuk memakmurkan kehidupan di bumi dan menghindarkan segala
bentuk perbuatan yang mengarah kepada kerusakan [15].
C. Akhlak Dalam Pandangan Islam
Untuk menyempurnakan rangkaian pembahasan
ini, ada satu topik penting yang banyak dibicarakan orang dan pengaruhnya cukup
besar dalam kehidupan masyarakat ataupun individu. Topik tersebut adalah
tentang akhlak dalam pandangan islam.
Seperti telah diketahui agama
islam mengatur hubungan manusia dengan penciptanya hubungan manusia dengan
dirinya serta hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan
penciptanya dalam masalah akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya
diatur dengan hukum akhlak, makanan dan minuman, serta pakaian, selain itu
hubungan manusia dengan sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan uqubat.
Islam telah memecahkan persoalan
hidup manusia secara menyeluruh dengan menitik beratkan perhatian kepada umat
manusia serta integal, tidak terbagi-bagi dengan demikian, kita melihat islam
menjelaskan persoalan dengan metode yang sama yaitu membangun semua solusi
persoalan tersebut diatas dasar akidah, yaitu asas rohani tentang kesadaran
manusia akan hubungan dengan Allah kemudian dijadikan asa peradapan islam asas
syarat islam dan asas negara.
Masyarakat tegak dengan
peraturan-peraturan hidup serta dipengaruhi oleh perasaan dan pemikiran yang
merupakan kebiasaan umum, hasil dari pemahaman hidup yang dapat menggerakan
masyarakat. Karena itu, yang menggerakkan masyarakat.bukanlah akhlak melainkan
peraturan-peraturan yang diterapkan ditengah masyarakat, pemikiran-pemikiran
dan perasaan yang ada pada masyarakat [16].
Pembahasan: KEADILAN,
KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN
Ketiga istilah diatas berkaitan
satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik, kemasyarakatan dan agama.
Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan bahasan tentu banyak
berorientasi pada agama.
1. Masalah Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil,
dalam istilah / ta’rif bahasa Arab, “Wadh’u syai’in fi mahalliha“. Artinya
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan adalah suatu sikap dan
tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu didambakan dan
sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan dalam semua
keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang keberadaannya
mutlak diperlukan sepanjang sejarah.
Agama Islam adalah agama yang
menegakkan keadilan, keadilan yang tidak pandang bulu, siapa yang bersalah
dihukum, yang berjasa diberi imbalan, tangan mencencang, bahu memikul, tiba di
mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan dan seterusnya.
Masalah keadilan ini Allah
berfirman dalam Al Qur’an ayat 8 surah Al-Maidah :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah
kamu menjadi pembela bagi Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah
kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan,
berlaku adillah kamu, itulah lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada
Allah, bahwasanya Allah membalasi apa-apa yang kamu perbuat“.
Dan di dalam hadits Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun walakin fil umaraa’i ahsanu,
as-sakhoo’u hasanun walakin fil ghinaa’i ahsanu, al-wara’u hasanun walakin fil
‘ulamaa’i ahsanu, ash-shobru hasanun walakin fil fuqoroo’i ahsanu, at-taubatu
hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa’u hasanun walakin fin-nisaa’i
ahsanu“.
Artinya : “Keadilan itu baik,
tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu baik, tetapi ia lebih
baik lagi pada orang-orang kaya, wara’ itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada
para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada orang-orang faqir.
Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda, malu itu baik,
tetapi lebih baik lagi pada para perempuan” (HR. Dailami).
Sesuai petunjuk Al Qur’an dan Al
Hadits diatas, maka keadilan hendaklah ditegakkan. Rasa keadilan adalah situasi
naluriyah yang tumbuh pada diri manusia. Perjuangan menegakkan keadilan berakar
pada fitrah manusia dan karenanya menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu
pula dapat dikatakan semua orbit perjuangan manusia adalah perjuangan
menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Konsekuensinya situasi kemanusiaan
tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan. Hukuman yang keras akan ditimpakan
kepada manusia yang berpihak kepada orang-orang yang dzalim.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala
dalam Al Qur’an surah Hud ayat 113 :
Artinya : “Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan
sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah,
kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan“.
Lawan daripada keadilan adalah
kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai kemungkaran yang akan
menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus menerus diwarnai
kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan dengan kerusakan.
Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis sosial.
Kita tidak boleh terjebak ke
dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu harus terlibat dalam
merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya. Legalitas perlawanan
terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti sebagaimana dinyatakan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul jihaadi kalimatu adlin (wa fi
riwayatin kalimatu haq) ‘imda sulthoonin jaairin“.
Artinya : “Seutama-utama jihad
adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim” (HR. Ahmad, Abu Daud,
Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu anhu).
Tegaknya keadilan bukan hanya
untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk lintas generasi.
Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap manusia dapat terbebas
dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan kesejahteraan sejati.
Di sinilah letak kepentingan
membangun institusi-institusi yang adil. Secara teoritis pembangunan institusi
yang adil harus dimulai dengan komitmen penerapan keadilan prosedural sebagai
hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau
undang-undang.
Selain itu Islam memandang
keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban untuk saling menopang
antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan masyarakat, apapun
agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial politik. Atas dasar
itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa perangkat kaidah yang tidak
hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan hubungan manusia dan dapat menjamin
dihormatinya HAM atas dasar keadilan, tetapi juga perangkat keadilan prosedural
yang mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin perilaku manusia
dari ketidakadilan. Sebab keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu,
melainkan juga dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan
sistem hukum yang baik. Dengan demikian keadilan distributif, komutatif dan
keadilan sosial akan terwujud.
Konsep keadilan dalam Islam
dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada ide-ide dan konsep-konsep
buatan manusia. Dalam Al Qur’an cakupan penggunaan kata “adl” berlaku bagi
segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan rakyat, antar golongan,
antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara orang-orang yang melakukan
perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang dengan kerabatnya, antara
suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua dengan anak-anaknya, dan lain
sebagainya.
2. Masalah Kepemimpinan
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan” artinya, perihal pemimpin; cara
memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut leader, kegiatannya disebut
kepemimpinan atau leadership. Ada lagi istilah kepemimpinan secara spiritual
dan empiris. Pengertiannya, spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mentaati
pemerintah dan larangan Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam
semua aspek kehidupan. Secara empiris kegiatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001 : 17 & 27).
Berdasarkan Al Qur’an As Sunnah
sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5 (lima) terminologi
tentang kepemimpinan, yaitu :
1. Al-Imam (QS, 25 : 74), bentuk jamaknya
adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim.
Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amaam). Istilah ini disamping
populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual, ia juga
dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat berjama’ah.
2. Al-Khalifah, bermakna pemimpin yang
mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS, 2 : 30). Karena
para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah beliau, bahkan siap
dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.
Dari terminologi diatas, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak
melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk
mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.
3. Al-Malik, artinya raja. Hanya saja Al
Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan sepenuhnya milik Allah
saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah
bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir kemaslahatan kehidupan.
Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja
dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah.
Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya
para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan
yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan
kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.
4. Al-Amir artinya adalah seorang pemimpin
yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (ojek) sehingga bermakna
pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki
diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang
pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui
perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya itu benar. Ia dapat
berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksinya.
5. Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang
senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sering mengingatkan bahwa
peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu adalah di seluruh
level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan langsung korelasi positif timbal
balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban semacam inilah yang bila dilakukan
seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati,
kepedulian dan kedekatan dengan rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan
berlaku zalim, aniaya dan semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM.
Hidayat Nur Wahid, tt : 166).
Jika berbicara tentang
kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus diurai, tetapi
dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin, potensi
kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam, sebagai berikut :
a. Macamnya Pemimpin
1) Pemimpin Formal
Pemimpin formal ini adalah orang
yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, teratur dalam suatu
organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam suatu gambar bagan yang
tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya tidak dengan sendirinya
memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi pemimin formal tersebut
akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya sebagai pimpinan yang
sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2) Pemimpin Non Formal
Kepemimpinan ini adalah seperti
dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki. Pengangkatannya tergantung
pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain sebagainya.
3) Pimpinan Informal
Kepemimpinan ini tidak mempunyai
dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam hiarki. Pemimpin informal
ini (informal leader) adalah seorang individu (pria atau wanita) yang walaupun
tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal sebagai pemimpin, memiliki
sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang memungkinkan mencapai
kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan serta tindakan sesuatu
kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif.
Dalam kalangan Islam kepemimpinan
informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat, misalnya dengan banyaknya
ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 : 19).
b. Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam Islam adalah
tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah. Keberhasilan dakwah
banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang memiliki kejelasan dan
tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan yang baik (organisasi yang
teratur), karena hal ini sangat menentukan tercapainya tujuan, sebagaimana yang
dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom
sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisir
secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.
Dari sini semua membutuhkan
pemimpin yang adil, berilmu dan terampil dan menguasai permasalahan,
sebagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam, tersebut dalam Al Qur’an surah Yusuf ayat
55 :
Artinya : Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan“.
Menurut H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi
Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah”, halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan
kemampuan memimpin seseorang :
1) Mampu untuk mengikat dengan pemikiran
dan kepribadiannya.
2) Kerja yang terus menerus dan berlanjut
serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3) Lembut bukan karena lemah dan kuat
bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan mampu berbicara sesuai
dengan kebutuhan.
4) Sangat menginginkan keimanan dan
keselamatan bagi saudaranya dan selalu memperhatikan saudaranya.
5) Mampu mengarahkan seorang menjadi
dinamis dan rukun.
6) Mendidik, mengarahkan dan menjaga
kader-kadernya dari kebinasaan.
7) Pandai membagi waktu, waspada, cerdik
(cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati)
dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu
membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian diatas dapat ditarik
natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli atau pemimpin yang
berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak berbudaya menjadi
pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang didasarkan pada
akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat dan bertindak
meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena dorongan nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi
berbudaya. Hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari
Abdullah ibn Abbas, ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Kalau engkau telah menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan
orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu
pertanda datangnya kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan :
(Ibnu Abbas) bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang
berkaki telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Dalam hadist tersebut Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa kelak akan terjadi budak akan
melahirkan anak majikannya dan muncul orang-orang gunung yang berkaki telanjang
menjadi pemimpin ummatnya atau bangsanya. Munculnya orang gunung berkaki telanjang
memimpin ummat atau bangsanya pertanda munculnya zaman edan. Orang gunung
berkaki telanjang adalah orang Arab (Badui), sikap orang Badui antara seperti :
keras kepala (penantang), tidak teguh pendirian, suka tergesa-gesa dan tidak
memperdulikan akhlak.
Istilah orang Badui bisa bermakna
hakiki, bisa juga bermakna simbolik, yaitu orang yang tidak berbudaya, tidak
berakhlak dan tidak berilmu pengetahuan.
Hakikat pemimpin tidak berbudaya
yang diantaranya lahir dari orang-orang gunung berkaki telanjang dan oleh Rasul
Allah disebut sebagai orang Badui, adalah para pemimpin yang tidak mampu
menjalankan roda pemerintahan benar dan hanya main coba-coba.
Munculnya pemimpin yang
berkepribadian Badui menjadikan masyarakat bingung, karena apa saja yang
dilakukan pemimpinnya tidak dapat memberikan ketentraman dan ketenangan.
Masyarakat menjadi korban ketidakbijaksanaan mereka sehingga kehidupan mereka
menjadi kacay, menderita kelaparan, kekacauan, kesengsaraan. Sikapnya
menjadikan masyarakat tidak lagi mempercayai.
Jika dihubungkan dengan fenomena,
banyak orang yang mencari jabatan ingin jadi pemimpin. Untuk bermimpi dalam
jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca lebih dahulu
syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1) Pertama, jangan ambisius untuk meraih
jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi
ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan menghilangkan jaminan
pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah
engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan karena meminta, maka
engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan jika engkau diberi
jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu (Allah) untuk
menunaikannya” (HR. Bukhari).
Memang motivasi nafsu pribadi
dari calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus terang, sebab hal itu
berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari pelaku calon yang
datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke berbagai pihak
agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari kekuasaan dan dia meminta
rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk mengurusinya
sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka Allah akan
turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR. Al-Bazzar).
Oleh karena itu sebagai ummat
Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya kepada calon
pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi moralitas yang
tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.
2) Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi
dimana seorang muslim melihat dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk
menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu
dan demi menegakkan keadilan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi
Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk
menjadi bendahara negara, hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan
adil.
Untuk membatasi uraian tentang
kepemimpinan ini, dirasa perlu juga menguraikan tentang kepemimpinan Rasulullah
secara kilas, semoga bisa menjadi contoh, karena memang Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam adalah sebagai ikutan atau contoh yang paling baik. Kenyataan
yang pertama dalam kepribadian Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam,
sebagai manusia yang kepemimpinannya patut diteladani adalah ketangguhan beliau
untuk menjadi pribadi yang tidak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di
sekitarnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, lahir, besar dan dewasa
di tengah-tengah masyarakat Arab jahilliyah, masyarakat yang terdiri dari
manusia-manusia berakhlak buruk. Tetapi kenyataannya menunjukkan sebaliknya
bahwa beliau manusia istimewa dengan kepribadian yang tidak larut dan tidak
pula hanyut di dalam arus yang buruk itu. Beliau telah mendapat gelar Al-Amin,
orang yang jujur dan terpercaya. Kepribadian seperti itu merupakan dasar atau
landasan yang kokoh bagi seorang pemimpin.
Dalam sejarah kepemimpinan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan identifikasi kepemimpinan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1) Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi orang-orang kafir
dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah
Subhanahu Wata’ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika telah
diwahyukan Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan
pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu
perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi / ditinggalkan. Otoriter
adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata’ala, yang bilamana tidak
diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya
adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai
balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang menduakan penciptanya
melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih. Perbuatan yang
dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang menyampaikan
saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau rakyat biasa.
Oleh karena itu kepemimpinan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu
Wata’ala, maka otoriter yang berlaku di muka bumi ini selalu dilaksanakan
sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan
petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan menutup sama sekali pemberian saran,
pendapat, inisiatif, kreativitas dan lain-lainnya.
2) Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam menyeru ummat manusia
terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat
Laissez Faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan kekerasan. Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam hanya diperintah oleh Allah Subhanahu Wata’ala
untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang mendengar dan kerugian
bagi yang berlaku angkuh dan sombong, menolak seruan beliau. Setiap manusia
diberi kebebasan untuk mengimani Kalimat Syahadat. Jika menolak beriman, Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak akan memaksanya, namun tetap
memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Termaktub dalam
firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam surah Al Baqarah ayat 256 :
Artinya : “Tidak ada paksaan dalam menganut agama,
sebab sudah jelas jalan benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar
kepada Thogut, hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang
berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui“.
Kebebasan memilih itu lebih tegas
lagi, sebagaimana firman Allah surah Al-Kahfi ayat 29 sebagai berikut :
Artinya : “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa
yang ingin kafir, kafirlah“.
Demikian kepemimpinan Laissez
Fair yang diwujudkan oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, namun
apabila seseorang telah menyatakan dirinya beriman, maka kepemimpinan beliau
berkembang menjadi bersifat konsultatif, pengayoman dan kharismatik. Di dalam
kepemiminan tersebut tetap terdapat kebebasan, karena pengawasan dilakukan
langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Pengawasan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersifat menumbuhkan tanggung jawab pribadi, karena pengawasan
otoriter merupakan hak Allah Subhanahu Wata’ala.
3) Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis
Prinsip-prinsip demokratis yang
dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa hidup beliau selalu
berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para shahabat sangat akrab.
Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk berkomunikasi dengan beliau
sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta petunjuk, petuah dan
nasehat, disamping itu ada juga yang bermaksud menyampaikan pendapat,
masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala sesuatu yang perlu
diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Kepemimpinan yang demokratis dari
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata dalam kehidupan beliau
sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak pernah sekedar duduk di
singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan untuk menjaga wibawa.
Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru timbul dan terpelihara karena beliau
menjalani kehidupan bersama ummatnya.
Kepemimpinan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada
kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah
yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Bersamaan dengan itu beliau
menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat
Islam tidak meninggalkan jama’ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam
mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai
setiap anggota jama’ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau
sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam
sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah
Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan
perang di Jir’anah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau :
“Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka, kalau saya
tidak adil” (H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).
3. Masalah Kerukunan
Sebagaimana telah diketahui,
penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dengan pulaunya sebanyak 17.508 dan
tidak kurang 390 suku bangsa. Sejak dahulu bangsa Indonesia terkenal sebagai
bangsa yang ramah, hal ini terbukti dengan mudahnya bangsa-bangsa lain untuk
tinggal dan menetap serta mencari mata usaha di negeri ini. Mereka saling
bekerjasama tanpa membedakan etnis, adat dan agama. Bertahun-tahun mereka hidup
dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka hidup saling tolong menolong,
segala permasalahan yang terjadi diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam
arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.
Kita adalah sebuah keluarga besar
yang tinggal dalam rumah kedamaian Indonesia. Jangan biarkan keluarga terpecah
belah, yang terjadi cukuplah untuk dijadikan bahan pelajaran, untuk cermin kita
menapak masa depan Indonesia yang damai, tentram dan sejahtera.
Sesuai pembahasan masalah
kerukunan, kerukunan secara bahasa berasal dari kata rukun, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, berarti, baik dan damai, tidak bertengkar. Kerukunan artinya
perihal hidup rukun. Perihal hidup rukun ini, hidup rukun damai sesama anak
bangsa dan sesama ummat beragama. Akar masalah terjadinya konflik karena
masalah yang berkaitan suk, ras dan agama. Lebih-lebih agama masalah hak asasi
manusia dan ia sangat peka, masalah kecil saja bisa memicu terjadinya
pergesekan.
Kerukunan hidup ummat beragama,
istilah ini secara formal muncul sejak diselenggarakannya Musyawarah Antar
Agama tanggal 30 Nopember 1967. Awal permasalahan karena pada saat itu timbul
berbagai ketegangan antar penganut berbagai agama di sementara daerah dan jika
tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Dalam pembukaan musyawarah tersebut Presiden Soeharto telah berkenan
memberikan kata sambutannya, antara lain : “… Pemerintah tidak akan menghalang-halangi
suatu penyebaran agama. Akan tetapi hendaknya penyebaran agama tersebut
ditujukan kepada mereka yang belum beragama yang masih terdapat di Indonesia,
agar menjadi pemeluk agama yang yakin”.
Masalah agama adalah hak asasi
manusia, artinya setiap berhak menentukan pilihan. Masalah agama juga masalah
yang peka / sensitif, maka untuk tidak terjadi pergesekan / benturan antar
pengikut ajaran agama, pemerintah berupaya menggalang persatuan dan kesatuan
bangsa, diantaranya pembinaan kerukunan antar ummat beragama.
Adanya kerukunan hidup antar
ummat beragam adalah merupakan salah satu syarat mutlak terwujudnya stabilitas
politik dan ekonomi. Oleh karena kerja sama pemerintah, masyarakat beragama
dalam mewujudkan iklim kerukunan beragama sangat diperlukan. Kerukunan yang
diistilahkan oleh pemerintah mencakup tiga kerukunan, yaitu kerukunan intern
ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama dan kerukunan ummat beragama
dengan pemerintah.
Akan tetapi perlu disadari,
walaupun pemerintah telah membuat program Tri Kerukunan, namun masalah tanggung
jawab pembinaan kehodupan beragama tidak dapat semata-mata dipikulkan pada bahu
pemerintah. Ummat beragama sendirilah yang pertama dan utama memikul tanggung
jawab itu. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai penunjang dan memberikan
kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan amal agama itu dapat berjalan dengan
tenang dan tenteram.
Bangsa Indonesia sungguh-sungguh
merasa bahagia, bahwa kita mempunyai tradisi yang baik mengenai toleransi dan
kerukunan hidup beragama ini. Tradisi dan kenyataan inilah yang antara lain
menguatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita, dan sebaliknya,
dengan Pancasila itu juga kita kembangkan toleransi beragama (Pidato Kenegaraan
Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967).
“… Pengertian
toleransi agama bagi kita adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga negara
untuk memeluk sesuatu agama yang menjadi keyakinannya dan kebebasan untuk
menjalankan ibadahnya …” (Sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul
Qur’an tanggal 19 Desember 1967 di Jakarta).
Selanjutnya berbicara masalah
toleransi yang dalam bahasa Inggrisnya adalah tolerance, bahasa Arabnya
Tasamuh, artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengidzinkan, saling
memudahkan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia mengartikan toleransi itu sebagai
sikap atau sikap menenggang dalam makna menghargai, membiarkan, membolehkan
pendirian, pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh
seseorang atau bertentangan dengan pendirian seseorang.
Sikap itu harus ditegakkan dalam
pergaulan sosial, terutama dengan anggota-anggota masyarakat yang berlainan
pendirian, pendapat dan keyakinan. Dengan kata lain toleransi adalah sikap
lapang dada terhadap prinsip orang lain dengan tidak mengorbankan prinsip /
keyakinan sendiri (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, 2006 : 432-433).
Di dalam ajaran Islam ada
beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al Qur’an, antara lain :
a. Surah Al-Baqarah ayat 256
Artinya : “Tidak ada paksaan
dalam (memeluk sesuatu) agama, karena telah jelas mana yang benar dan mana yang
salah“.
b. Surah Al-Kahfi ayat 29
Artinya : “Katakanlah hai
Muhammad, bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh karena itu barang
siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah“.
c. Surah Yunus ayat 99
Artinya : “Dan apabila Tuhanmu
menghendaki, orang yang berada di muka bumi ini beriman seluruhnya. Apakah
engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman ?“
d. Surah Al-Mumtahanah ayat 8
Artinya : “Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dari beberapa ayat diatas dapat
ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai toleransi dalam ajaran Islam.
Prinsip-prinsip itu antara lain :
1. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama,
baik paksaan itu bersifat halus atau kasar.
2. Manusia berhak menentukan pilihan agama
yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.
3. Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia
menjadi seorang muslim.
4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat
dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal mereka itu tidak
memusuhi umat Islam.
Dari uraian diatas sangat jelas
bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal keyakinan, artinya Islam dan
ummatnya sangat toleran dengan penganut agama lain. Disamping ayat-ayat Al
Qur’an diatas ada lagi satu surah yang menjadi pegangan / panduan ummat Islam
tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut
masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian akidah harus dijaga. Oleh
karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada toleransi dalam akidah. Akidah
tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al Qur’an yang berbicara masalah
ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat 1-6 :
Artinya : “Katakanlah, hai kaum kafir. Aku tidak
menyembah apa yang kamu sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku
sembah. Aku bukan penyembah sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga)
bukan penyembah sebagaimana (cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan
untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 1 – 6).
Jadi toleransi agama menurut
ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan bagi pemeluk agama lain
dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang diyakininya.
Jika maksud toleransi ini
dijalankan dengan benar akan terwujudlah kerukunan antar ummat beragama. Adapun
kerukunan intern ummat beragama, khususnya ummat Islam misalnya. Karena ummat
Islam ini secara organisatoris, banyak sekali organisasinya, seperti
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Al-Irsyad, Mathlaul Anwar, Jami’atul
Washliyah, Hidayatullah, Hizbut Tahrir, Perti dan lain-lainnya. Maka kerukunan
ini harus dibina melalui forum / kegiatan ukhuwah Islamiyah dan ditingkatkan
dengan ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah
basyariah.
Disamping itu secara individu,
maupun secara organisatoris janganlah mengungkap masalah khilafiah, karena
masalah ini cukup peka / sensitif. Hal-hal lain yang tak kalah pentingnya
melaksanakan rukun ukhuwah, yaitu :
1. Saling kenal mengenal satu sama lain
(ta’aruf)
2. Saling menghargai dan menenggang (tasamuh)
3. Saling tolong menolong (ta’awun)
4. Saling mendukung (tadlamun)
5. Saling sayang menyayangi (tarahum)
Hal-hal yang seyogiayanya harus
dihindari adalah :
1. Saling menghina dan saling mencela
(assakhriyah dan allamzu)
2. Berburuk sangka (su’udzzdon)
3. Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
4. Sikap curiga yang berlebihan (tajassus)
5. Sikap congkak (takabur)
Demikianlah masalah kerukunan dan
kedamaian hidup dalam berbangsa dan bernegara, damai itu indah. Kita lelah
sudah bertikai, akar permasalahannya pun harus kita kunci, salah satu kuncinya
ialah adanya program pemerintah yang disebut dengan Tri Kerukunan.
Pembahasan: ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
A. Perkembangan Sains dan Teknologi, Serta
Karakteristik dan Sumbernya
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah
seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman
manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
Kata ilmu dalam bahasa Arab
"ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan
penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan,
dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain
sebagainya.
Sejarah ilmu pada dasarnya
merupakan sejarah pikiran umat manusia terlepas dari asal usul kebangsaan
maupun asal mula negara, dan pembagian lintasan sejarah ilmu yang paling tepat
adalah menurut urutan waktu dan bukan berdasarkan pembagian negara, lintasan
sejarah ilmu terbaik mengikuti pembagian kurun waktu dari satu zaman yang
terdahulu ke zaman berikutnya, zaman tertua dari pertumbuhan ilmu adalah zaman
kuno yang merentang antra tahun kurang lebih
4000 SM-400M. Zaman kuno ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. ± 4000- 6000 s.M : Masa Mesir dan Babilon
2. 600-30 s.M : Masa Yunani Kuno
3. 30 SM-400 M : Masa Romawi
Di mesir mulai tumbuh berbagai
gagasan ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu gaya, ilmu hitung, ilmu ukur.
Semua ilmu ini penting untuk keperluan membangun berbagai kuil, istana, dan
piramid. Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai dikembangkan di Mesir, di
Babilonia dikembangkan berbagai gagasan ilmiah
dari ilmu bintang dan ilmu pasti. Suatu hal lain yang perlu diketahui
bahwa masih melekat pada pertumbuan ilmu pada masa yang pertama ini adalah
adanya penjelasan penjelasan yang persifat gaib. Pada masa berikutnya di Yunani
Kuno antara tahun 600-30 S.M mengenal siapa para pengembang ilmu serta tempat
dan tahun kelahirannya.
Ada dua jenis ilmu yang
dipelajari yang pada waktu itu mendekati kematangannya, pertama, ilmu
kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang berdisiplin
dalam pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang
mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung
yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis
serta masalah-masalah definisi. Imuwan-ilmuwan yang terkemuka pada waktu itu di
antaranya adalahThales (±525-654 s.M.) merupakan ilmuwan yang pertama di dunia
karena ia memplopori tumbuhnya Ilmu Bintang, Ilmu Cuaca, Ilmu Pelayaran, dan
Ilmu Ukur dengan berbagai ciptaaan dan penemuan penting. Ilmuwan Yunani Kuno
kedua adalah Pythagoras (578?-510 s.M.) merupakan ahli Ilmu Pasti. Ilmuwan
Yunani Kuno yang ketiga adalah Democritus (±470-±400 s.M.), gagasan ilmiahnya
yang terkenal ialah tentang atom.
Perkembangan ilmu pada Masa
berikutnya adalah Masa Romawi yang merupakan masa terakhir dari pertumbahan
ilmu pada Zaman Kuno dan merupakan masa yang paling sedikit memberikan
sumbangsih pada seajarah ilmu dalam Zaman Kuno. Namun bangsa Romawi memiliki
kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta
mengatuur hukum dan pemerintahan. Bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis
dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang
terkemuka. Perkembangan berikutnya pada zaman pertengahan, ribuan naskah
pengetahuan dari Zaman Yunani Kuno yang terselamatkan dan diterjemahkan dalam
bahasa Arab oleh cendekiawan Muslim dan sebagian ditambahi catatan ulasan, abad
VII dan VIII Kaum Muslim meguasai wilayah-wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan
Spanyol. Kota-kota yang merupakan pusat-pusat kebudayaannya ialah Bagdad,
Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo. Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang terkenal
seperti Al-Razi (865-925) dan Ibnu Sina (980-1037) adalah ahli ilmu Kedokteran,
Jabir ibn Hayyan (±721-±815) dalam Pengetahuan Kimia dan obat-obatan, serta
dalam Ilmu Penglihatan oleh Ibn al-Haytham (965-1038).
Pada abad XI bangsa-bangsa Eropa
Utara berangsur-angsur mengetahui perkembangan pengetahuan ilmiah yang
berlagsung di daerah Muslim. Dan dengan sebab itu Abad XIV-XVI dikenal Zaman
Pencerahan (renaissance) di Eropa, ditandai dengan kelahiran kembali semua
ilmiah maupun pengetahuan kemanusiaan dari Masa Yunani Kuno. Ilmuwan yang
terkemuka saat itu ialah Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang peletak dasar
Ilmu Bintang Modern. Lainnya adalah Andreas Vesailus (1514-1564) ahli Ilmu Urai
Tubuh Modern. Dengan berakhirnya Zaman Pencerahan dunia memasuki Zaman Modern
mulai Abad XVII, pengertian ilmu yang modern dan berlainan dengan ilmu lama
atau klasik mulai berkembang dalm abad ini. Perkembangan ini terjadi karena
perkembangan 3 hal, yaitu perubahan alam pikiran orang, kemajuan teknologi, dan
lahirnya tata cara ilmiah. Pada Zaman ini banyak melahirkan ilmuwan dengan
teori baru di bidang ilmu pengetahuan yang beragam. Misal, Isaac Newton
(1642-1727) penemu Kaidah Gaya Berat dan Teori Butir Cahaya, Thomas Robert
Malthus (1766-1834) Teori Kependudukan. Setelah memasuki Abad XX pertumbuhan
ilmu di dunia mengalami ledakan, karena boleh dikatakan setiap tahun puluhan
penemuan hasil penelitian para ilmuwan muncul.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu
merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu
dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat
ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam
yang telah ada lebih dahulu.
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian
yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari
luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada
karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari
adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya
disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan
untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari
kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk
menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang
berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba
mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam
hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti
secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat
menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai
adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).
Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu
yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an
(universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya
adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam
ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Usaha-usaha manusia untuk
menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta
melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha
manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia
melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural
sciences).
Pengembangan ilmu pengetahuan
dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang yang beriman maupun yang tidak
beriman, asalkan memiliki sikap intelektual dan kemampuan metodologi ilmiah,
sebab ayat-ayat Allah bersifat:
1. pasti (Al-Furqan 2)
2. tidak pernah berubah (Al-Fath 23)
3. obyektif (Al-Anbiya’ 105)
Dampak positif dari adanya Iptek
adalah sebagai berikut :
1. Mampu meringankan masalah yang dihadapi
manusia.
2. Mengurangi pemakaian bahan – bahan alami
yang semakin langka.
3. Membuat segala sesuatunya menjadi lebih
cepat
4. Membawa manusia kearah lebih modern.
5. Menyadarkan kita akan keesaan Allah SWT
6. Menjawab pertanyaan yang dari dulu diajukan
oleh nenek moyang kita melalui penelitian ilmiah.
Sedangkan dampak negatif dari
adanya Iptek adalah sebagai berikut :
1. Dengan segala sesuatunya yang semakin
mudah, menyebabkan orang – orang menjadi malas berusaha sendiri.
2. Menjadi tergantung pada alat yang
dihasilkan oleh IPTEK itu sendiri.
3. Melupakan keindahan alam.
4. Masyarakat lebih menyukai yang instan.
5. Dengan memanipulasi makanan yang ada,
menyebabkan masyarakat kurang gizi.
6. Kekhawatiran masyarakat terhadap IPTEK yang
semakin maju menyebabkan peradaban baru.
Sumber ilmu pengetahuan adalah
alam. Alam adalah gudang inspirasi, ide, dan motivasi untuk mengarahkan
seseorang mencapai suatu peradaban yang lebih tinggi. Dalam autobiografi
seorang pelaut yang terkenal di zaman dynasti China yaitu Laksamana Chengho
(seorang jenderal) yang pernah melakukan pelayaran ke Afrika dan Asia
menyebutkan, alam telah memberikan motivasi, semangat, dan arahan kepadanya
untuk melakukan penjelajahan ke dunia lain untuk menemukan hal-hal baru. Suatu
ide, gagasan, dan motivasi pada awalnya bersumber dari rasa keingintahuan kita
akan sesuatu hal. Rasa keingintahuan ini kemudian dirangsang oleh alam melalui
akal pikiran kita sehingga timbul suatu ide, motivasi, dan semangat dalam diri.
Rasa keingintahuan inilah yang mendasari untuk berkembangnya ilmu dan
pengetahuan.
B. Akal dan Wahyu dalam Islam
Akal adalah kelebihan yang
diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka
di dunia.
Materi “aql” dalam al-Qur’an
terulang sebanyak 49 kali, kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk kata
kerja seperti dalam bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun terulang
sebanyak 24 kali dan ya’qilun sebanyak 22 kali, sedangkan kata kerja a’qala,
na’qilu dan ya’qilu masing-masing satu kali (Qardawi, 1998: 19). Pengertian
akal dapat dijumpai dalam penjelasan ibnu Taimiyah (2001: 18). Lafadz akal
adalah lafadz yang mujmal (bermakna ganda) sebab lafadz akal mencakup tentang
cara berfikir yang benar dan mencakup pula tentang cara berfikir yang salah.
Adapun cara berfikir yang benar adalah cara berpikir yang mengikuti tuntunan
yang telah ditetapkan dalam syar’a. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah dalam bukunya
yang berjudul Hukum Islam dalam Timbangan Akal dan Hikmah juga menyinggung
mengenai kesesuaian nash al-Qur’an dengan akal, jika ada pemikiran yang
bertentangna dengan akal maka akal tersebutlah yang salah karena mengikuti cara
berpikir yang salah.
1. Definisi Akal
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat
cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan
akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn
Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di
dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah
atau bisa benar. Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini hanya terbatas pada
penggunaan kata akal.
Akal secara bahasa dari mashdar
Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia
ketahui.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata,
‘Kata
akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata
melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim
yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin,
maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk
mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan
ilmu.
Syaikh Al Albani berkata,
“Akal
menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan
mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang
yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti
kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”
Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,
”akal ada
dua macam yaitu : thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang datang
bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan,
tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang.
Kemudian seorang anak akan
mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah
sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang
menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga
bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka
seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa,
dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.
Hal ini menunjukan bahwa akal
lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan
akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
2. Pemuliaan Islam Terhadap Akal
Islam sangat memperhatikan dan
memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam
kepada akal adalah :
1. Islam memerintahkan manusia untuk
menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi
kehidupannya.
Islam mengarahkan kekuatan akal
kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan
syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,
Dan mengapa mereka tidak
memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan
waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum)
“ Dan
dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal”, (Al Baqarah : 184),
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari
Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Jumu’ah :
9).
2. Islam melarang manusia untuk taklid buta
kepada adat istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam
firman Allah,
Dan apabila dikatakan kepada
mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka
tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (QS. Al Baqarah :
170).
3. Islam memerintahkan manusia agar belajar
dan menuntut ilmu sebagaimana dalam firman Allah,
”Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.”(QS. At Taubah : 122).
4. Islam memerintahkan manusia agar memuliakan
dan menjaga akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal
seperti khomr, Allah berfirman,
“Hai,
orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (Al Maidah, 90).
3. Ruang Lingkup Akal Dalam Islam
Meskipun islam sangat
memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu
kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan
kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa
menggapai hakekat segala sesuatu.
Maka Islam memerintahkan akal
agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i walaupun belum sampai kepada
hikmah dan sebab dari perintah itu.
Kemaksiatan yang pertama kali
dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud
kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah
perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan
Adam,
Iblis berkata: ”Aku lebih baik
daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan
dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).
Karena inilah islam melarang akal
menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang
Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda,
”Pikirkanlah
nikmat-nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.
Allah berfirman,
Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhanku,dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit.”(QS.Al Isra’: 85).
Allah menyuruh kita untuk
memaksimalkan kemampuan akal yang diberikan pada kita. Salah satu cara, Ia
menganjurkan pada kita untuk menuntut ilmu setinggi – tingginya demi kemajuan
umat bersama. Bahkan pernah dikatakan dalam suatu hadits bahwa ada tiga
peninggalan yang mampu menolong manusia untuk terhindar dari api neraka yaitu
amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak sholeh. Dengan kata lain,
Allah hendak mengatakan bahwa ilmu sangatlah penting untuk kita, sebagai umat
islam, bukan hanya penting untuk kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan
akhirat. Ilmu yang bermanfaat itu dapat kita bawa hingga ke akhirat kelak.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran
: 110, “Kamu adalah umat yang paling baik (khaira ummah, umat pilihan), yang
dilahirkan untuk kepentingan manusia; menyuruh mengerjakan yang benar dan
melarang membuat salah, serta beriman kepada Allah. Sekranya orang-orang
keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka. Sebahagian
mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang yang jahat”.
Sebenarnya umat yang menjadi
pengamal wahyu Allah (Islam) memiliki identitas (ciri, sibghah) yang jelas di
antaranya menguasai ilmu pengetahuan. Dalam mewujudkan keberadaannya ditengah
masyarakat mereka menjadi innovator dan memiliki daya saing serta memiliki
imajinasi yang kuat disamping kreatif dan memiliki pula inisiatif serta teguh
dalam prinsip (istiqamah, consern), bahkan senantiasa berfikir objektif dan
mempunyai akal budi.
4. Definisi Wahyu
Wahyu sendiri dalam al-Qur’an
disebut dengan kata al-wahy yang memiliki beberapa arti seperti kecepatan dan
bisikan. Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari
Allah ke dalam dada nabi-nabiNya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz
al-Qur’an (as- Shieddiqy: 27). Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini hanya
terbatas pada penggunaan kata wahyu.
Wahyu adalah petunjuk dari Allah
yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya.
Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan, diungkapkan. Ia adalah pencerahan,
sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran. Setiap gagasan yang di
dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia memperkaya
pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia (Haque, 2000: 10). Allah sendiri
telah memberikan gambaran yang jelas mengenai wahyu ialah seperti yang
digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 16 yaitu:
“Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus”
Pengertian wahyu dalam penelitian
di sini adalah kitab al-Qur’an yang di dalamnya merupakan kumpulan-kumpulan
dari wahyu yang membenarkan wahyu-wahyu sebelumnya (taurat, injil, zabur) dan
diturunkan oleh Allah hanya kepada Nabi Muhammad SAW selama hampir 23 tahun
(Haque, 2000: 19).
Wahyu, menurut Kamus Al-Mufrâdât
fî Ghara`ibi`l-Qur`ân, makna aslinya adalah
al-‘Isyaratu`s-sarî’ah. Artinya,
isyarat yang cepat yang dimasukkan ke dalam hati
seseorang atau ilqâ’un
fi`r-rau`i, maksudnya yang disampaikan dalam hati.
5. Fungsi Wahyu
1. Wahyu merupakan sumber pokok ajaran Islam.
2. Wahyu sebagai landasan berpikir. Semua
produk pemikiran (ilmu, teori, konsep dan gagasan) tidak boleh lepas dari wahyu,
baik makna tersirat maupun tersurat.
3. Wahyu sebagai landasan berbuat, bersikap,
berperilaku dalam semua segi kehidupan.
Akal dan wahyu kalau diletakkan
secara fungsionalis, maka keduanya saling memiliki fungsi. Akal memiliki fungsi
untuk memahami wahyu, karena wahyu ditulis dengan bahasa Arab, dan tidak setiap
orang dapat memahami teks Arab. Wahyu (Al Qur’an sebagai hudan, untuk memahami
hudan diperlukan akal. Wahyu memiliki fungsi mengarahkan kerja akal dan
memberikan informasi kandungan wahyu yangg memerlukan bukti empiris, bahkan
dengan observasi, eksperimen, penyelidikan dan penelitian, yang ini semua dikerjakan
dengan akal pikiran.
C. Motivasi Islam dalam Mengembangkan Ilmu
Pengetahuan
"Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya" (Al-'Alaq : 1-5)
Ayat tersebut diatas mendorong
Umat Islam untuk pandai membaca, berfikir dan berkreasi. semakin banyak
membaca, semakin banyak manfaat yang diperoleh. Ilmu akan bertambah, bahasa
makin baik, dan wawasan makin luas. Bacalah alam ini. Bacalah Al Qur'an ini.
Bacalah buku-buku ilmu pengetahuan. Jadi, membaca merupakan kunci pembuka untuk
mempelajari ilmu pengetahuan.
Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan sebagaimana yang dicerminkan dalam wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW tersebut diatas. Begitu besar perhatian Islam terhadap
ilmu pengetahuan, sehingga setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan
untuk menuntut ilmu.
Sabda Nabi : "Mencari ilmu
itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan" (HR. Ibnu Abdil
Bar). Dimanapun ilmu berada, Islam memerintahkan untuk mencarinya. Sabda Nabi :
"Carilah ilmu meskipun di negeri Cina" (HR Ibnu 'Adi dan Baihaqi).
Menuntut ilmu dalam Islam tidak berhenti pada batas usia tertentu, melainkan
dilaksanakan seumur hidup. tegasya dalam hal menuntut ilmu tidak ada istilah
"sudah tua". Selama hayat masih dikandung badan, manusia wajib
menuntut ilmu. Hanya caranya saja hendaklah disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan masing-masing. Perintah menuntut ilmu sepanjang masa ini diterangkan
dalam Hadits Nabi SAW. "Carilah ilmu sejak buaian sampai ke liang
lahad".
Dengan memiliki ilmu, seseorang
menjadi lebih tinggi derajatnya dibanding dengan yang tidak berilmu. Atau dgn
kata lain, kedudukan mulia tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu.
Firman Allah SWT : "Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (Al Mujadilah : 11)
Dan firman Allah SWT : "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (Az-Zumar : 9). Sementara itu,
penghormatan terhadap penuntut ilmu dijelaskan pula dalam beberapa Hadits Nabi
SAW. diantaranya : "Tidaklah suatu kaum berkumpul disalah satu rumah
Allah, sambil membaca al Qur'an dan mempelajarinya kecuali mereka dinaungi oleh
para malaikat, mereka diberikan ketenangan, disirami rahmat dan selalu diingat
Allah".
"Sesungguhnya, malaikat akan
meletakkan sayapnya (menaungi) pada pencari ilmu karena senang apa yang sedang
dituntutnya".
Menurut hadits tersebut diatas,
tempat-tempat majlis ilmu itu dinaungi malaikat, diberikan ketenangan
(sakinah), disirami rahmat dan dikenang Allah di singgasana-Nya. Begitulah
penghormatan yang diberikan kepada orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan
itu.
Ilmu Memperkuat Iman
Ilmu pengetahuan dapat memperluas
cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan.
Keluasan wawawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang
lebih cenderung kepada obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar
dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.
Tentunya bagi seorang muslim, dibalik wajah-wajah kebenaran itu tersirat kebenaran
yang mutlak adalah Allah SWT. Dengan kata lain, ilmu yang benar mendorong
seseorang beriman kepada Allah SWT. Bahkan lebih dari itu, ilmu yang benar
dapat pula memperkuat dan meningkatkan keimanan seseorang. Ilmu dapat
memperkuat iman, dan iman melahirkan kepatuhan dan tawadhu' kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT : "Dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini Al Qur'an itulah yang hak (petunjuk
yang benar) dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepada-Nya" (al Hajj : 54).
Dari salah satu hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Daud : "Dari Abu Darda' berkata, saya mendengar
Rasulallah SAW bersabda : 'Kelebihan seseorang alim dari seseorang 'abid
(banyak ibadah) seperti kelebihan bulan pada bintang-bintang".
Menurut hadits ini orang yang
berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah laksana bulan melebihi
bintang-bintang. Ilmu manfaatnya tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya.
Tapi ia membias ke orang lain yang mendengarkannya atau yang membaca karya
tulisnya. Sedangkan ibadah manfaatnya terbatas hada pada sipelakunya.
Ilmu atasar dan pengaruhnya tetap
abadi dan lestari selama masih ada orang yang memanfaatkannya, meskipun sudah
beberapa ribu tahun. Tetapi orang yang melakukan shalat, puasa, zakat, haji,
bertasbih, bertakbir dll tetap diberi pahala oleh Allah SWT, akan tetapi semua
ini segera berakhir dengan berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan.
Sabda Nabi : "Jika manusia
meninggal dunia, semua amalnya terputus kecuali tiga : sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya"
(HR. Muslim).
Marilah kita perhatikan intisari
ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam
semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti
(Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27).
Kedua, manusia diperintahkan
Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran
190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13).
Ketiga, dalam memanfaatkan
hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau
membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan
Allah dalam Al-Qur’an.
Pertama, kritis terhadap
permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36:
“Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya”.
Kedua, bersedia menerima
kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar
ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi
pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh
petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar
(nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101:
“Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna
segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Menurut Surat Ali Imran 191-194,
seorang ilmuwan atau intelektual Muslim harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
1. Senantiasa dalam kondisi zikir, memelihara
komitmen kepada ajaran Allah.
2. Mengembangkan daya fikir dalam menalari
ciptaan Allah.
3. Memanfaatkan potensi dan kesempatan yang
disediakan Allah.
4. Menjauhi perilaku menyimpang dari ajaran
Allah.
5. Siap membela kebenaran dan keadilan serta
memberantas kezaliman.
6. Teguh beriman kepada Allah dan Rasul dalam
sikap dan perilaku.
7. Menyadari kekhilafan dan berusaha
meningkatkan kemampuan diri.
8. Ikhlas berkorban mempersembahkan bakti
hanya kepada Allah.
9. Berwawasan masa depan untuk kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Terdapat tiga alasan pokok,
mengapa kita perlu menguasai iptek, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia
Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini fakta, tidak bisa
dipungkiri.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah
terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam. Ini fakta yang tak dapat
dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat
Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori
persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai sendiri dan
akhirnya bertengkar sendiri.
Sumber – Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam Islam
Setelah kita mengetahui betapa
tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT
mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun
telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi ummat yang
terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar mereka tidak
salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan
urutan kebenarannya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an dan Sunnah :
Allah SWT telah memerintahkan
hamba-Nya untuk menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pertama ilmu
pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya adalah langsung dari sisi Allah SWT
dan dalam pengawasannya, sehingga terjaga dari kesalahan, dan terbebas dari
segala vested interest apapun, karena ia diturunkan dari Yang Maha Berilmu dan
Yang Maha Adil. Sehingga tentang kewajiban mengambil ilmu dari keduanya,
disampaikan Allah SWT melalui berbagai perintah untuk memikirkan ayat-ayat-Nya
(QS 12/1-3) dan menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dalam segala hal (QS
33/21).
2. Alam semesta:
Allah SWT telah memerintahkan
manusia untuk memikirkan alam semesta (QS 3/190-192) dan mengambil berbagai
hukum serta manfaat darinya, diantara ayat2 yang telah dibuktikan oleh
pengetahuan modern seperti :
a) Ayat tentang asal mula alam semesta dari
kabut/nebula (QS 41/11).
b) Ayat tentang urutan penciptaan (QS
79/28-30): Kegelapan (nebula dari kumpulan H dan He yang bergerak pelan),
adanya sumber cahaya akibat medan magnetik yang menghasilkan panas radiasi
termonuklir (bintang dan matahari) pembakaran atom H menjadi He lalu menjadi C
lalu menjadi O baru terbentuknya benda padat dan logam seperti planet (bumi)
panas turun menimbulkan kondensasi baru membentuk air baru mengakibatkan adanya
kehidupan (tumbuhan).
c) Ayat bahwa bintang2 merupakan sumber panas
yang tinggi (QS 86/3), matahari sebagai contoh tingkat panasnya mencapai 6000
derajat C.
d) Ayat tentang teori ekspansi kosmos (QS
51/47).
e) Ayat bahwa planet berada pada sistem tata
surya terdekat (sama ad-dunya) (QS 37/6).
f) Ayat yang membedakan antara planet sebagai
pemantul cahaya (nur/kaukab) dengan matahari sebagai sumber cahaya (siraj) (QS
71/16).
g) Ayat tentang gaya tarik antar planet (QS
55/7).
h) Ayat tentang revolusi bumi mengedari
matahari (QS 27/88).
i) Ayat bahwa matahari dan bulan memiliki
waktu orbit yang berbeda2 (QS 55/5) dan garis edar sendiri2 yang tetap (QS
36/40).
j) Ayat bahwa bumi ini bulat (kawwara-yukawwiru)
dan melakukan rotasi (QS 39/5).
k) Ayat tentang tekanan udara rendah di
angkasa (QS 6/125).
l) Ayat tentang akan sampainya manusia
(astronaut) ke ruang angkasa (ini bedakan dengan lau) dengan ilmu pengetahuan
(sulthan) (QS 55/33).
m) Ayat tentang jenis-jenis awan, proses
penciptaan hujan es dan salju (QS 24/43).
n) Ayat tentang bahwa awal kehidupan dari air
(QS 21/30).
o) Ayat bahwa angin sebagai mediasi dalam
proses penyerbukan (pollen) tumbuhan (QS 15/22).
p) Ayat bahwa pada tumbuhan terdapat pasangan
bunga jantan (etamine) dan bunga betina (ovules) yang menghasilkan perkawinan
(QS 13/3).
q) Ayat tentang proses terjadinya air susu
yang bermula dari makanan (farts) lalu diserap oleh darah (dam) lalu ke
kelenjar air susu (QS 16/66), perlu dicatat bahwa peredaran darah baru
ditemukan oleh Harvey 10 abad setelah wafatnya nabi Muhammad SAW.
r) Ayat tentang penciptaan manusia dari air
mani yang merupakan campuran
(QS 76/2), mani merupakan
campuran dari 4 kelenjar, testicules (membuat
spermatozoid), vesicules
seminates (membuat cairan yang bersama mani), prostrate
(pemberi warna dan bau), Cooper
& Mary (pemberi cairan yang melekat dan lendir).
s) Ayat bahwa zyangote dikokohkan tempatnya
dalam rahim (QS 22/5), dengan
tumbuhnya villis yang seperti
akar yang menempel dpada rahim.
t) Ayat tentang proses penciptaan manusia
melalui mani (nuthfah) zygote yang melekat (‘alaqah) segumpal daging/embryo
(mudhghah) dibungkus oleh tulang dalam misenhyme (‘izhama) tulang tersebut
dibalutoleh otot dan daging (lahma) (QS 23/14).
3. Diri manusia:
Allah SWT memerintahkan agar
manusia memperhatikan tentang proses penciptaannya, baik secara
fisiologis/fisik (QS 86/5) maupun psikologis/jiwa manusia tersebut (QS
91/7-10).
4. Sejarah:
Allah SWT memerintahkan manusia
agar melihat kebenaran wahyu-Nya melalui lembar sejarah (QS 12/111). Jika
manusia masih ragu akan kebenaran wahyu-Nya dan akan datangnya hari pembalasan,
maka perhatikanlah kaum Nuh, Hud, Shalih, Fir’aun,
dan sebagainya, yang kesemuanya
keberadaannya dibenarkan dalam sejarah hingga
saat ini.
Bila diteliti bahwa ayat pertama
turun adalah (Iqra’, artinya baca) QS. 96, Al ‘Alaq 1-5. Membaca dan menulis,
adalah “jendela ilmu pengetahuan”. Dijelaskan, dengan membaca dan menulis akan
mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (‘allamal-insana
maa lam ya’lam). Ilham dan ilmu belum berakhir. Wahyu Allah berfungsi sebagai
sinyal dan dorongan kepada manusia untuk mendalami pemahaman sehingga mampu
membaca setiap perubahan zaman dan pergantian masa. Adapun keistimewaan ilmu,
menurut wahyu Allah, antara lain :
1. Yang mengetahui pengertian ayat-ayat
mutasyabihat hanyalah Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya (QS.2:7)
2. Orang berilmu mengakui bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah (QS.3:18)
3. Di atas orang berilmu, masih ada lagi yang
Maha Tahu (QS.12:76)
4. Bertanyalah kepada ahli ilmu kalau kamu
tidak tahu, (QS.16:43, dan 21:7)
5. Jangan engkau turuti apa-apa yang engkau
tidak mempunyai ilmu tentang itu (QS.17:36)
6. Kamu hanya mempunyai ilmu tentang ruh
sedikit sekali (QS.17:85)
7. Memohonlah kepada Allah supaya ilmu
bertambah (QS.20:114)
8. Ilmu mereka (orang yang menolak ajaran
agama) tidak sampai tentang akhirat (QS.27:66)
9. Hanyalah orang-orang berilmu yang bisa
mengerti (QS.29:43)
10. Yang takut kepada Tuhan hanyalah
orang-orang berilmu (QS.35:28)
11. Tuhan meninggikan orang-orang beriman dan
orang-orang berilmu beberapa tingkatan (QS.58:11)
12. Tuhan mengajarkan dengan pena (tulis baca)
dan mengajarkan kepada manusia ilmu yang belum diketahuinya (QS.96:4-5)
Keutamaan orang-orang yang
berilmu dan beriman sekaligus, diungkapkan Allah dalam ayat-ayat berikut:
“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’
Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
(QS. Az-Zumar [39] : 9).
“Allah
berikan al-Hikmah (Ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa
saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu,
benar-benar ia telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari firman-firman
Allah.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 269).
“… Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah SAW pun memerintahkan
para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah
anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama
sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi SAW).
“Menuntut
ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para
penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi SAW).
DAFTAR PUSTAKA
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat
Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
The Liang Gie. 1998. Lintasan
Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
ibrahimstwo0@gmail.com
http://manegeri.blogspot.com/2012/10/keadilan-kepemimpinan-dan-kerukunan.html
- Darsono, T. Ibrahim. Membangun
Akidah dan Akhlak, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008
- Ghoni Asykur, Abdul. Kumpulan
Hadits-Hadits Pilihan Bukhori Muslim. Bandung: Husaini Bandung, 1992
-
http://mardiunj.blogspot.com/2010/03/hadits-tentang-akhlak.html
-
http://madinatulilmi.com/index.php?prm=posting&kat=1&var=detail&id=79
download lengkap materi disini
Komentar
Posting Komentar